Manusia dalam Sandera Sang Penguasa

Manusia dalam Sandera Sang Penguasa Sila Basuki, SH, MBA.

SiLA BASUKi: OLIGARKI MAIN POLITIK DUA KAKI ( ? )
Manusia dalam Sandera Sang Penguasa
 
Oleh : SILA BASUKI, SH. MBA.
Pemerhati Sosial, Seni dan Budaya
 
Drama, Fragmentasi atau teatrikal Politik Nasional hingar bingar, seperti tak mau ketinggalan dengan hiruk pikuk politik dan perang yang sedang berkecamuk di Gaza, menyusul perang Rusia dan Ukraina.
 
Rakyat atau umat seluruh dunia, baik yang internasional maupun nasional selalu saja memandang secara linier (lurus) bagai memakai "kaca mata kuda" setiap hiruk pikuk atau hingar bingar itu. Artinya, kita selalu saja melihat - dengan polos dan lugu - apa yang nampak dan di dengar telinga, nyaris hampir tak pernah "membaca" atau menengarai gerakan konspiratif di balik Fragmentasi atau Teatrikal dramatik yang nampak di semesta panggung politik.
 
Singkatnya, kita tak tahu menahu "kelabu" politik yang dimainkan "dalang" di balik panggung "tonil" drakor (drama korengan) yang sedang "on progress". Masih saja pada posisi rakyat yang peradabannya "dijajah" oleh penguasa dunia "gelap", meski kita nampaknya "merdeka" dan baik - baik saja.
 
Ya, sadar maupun tidak sadar, tahu maupun tak mau tahu - sesungguhnya kita ini adalah "umat manusia yang selalu" hidup dalam Sandera Sang Penguasa Dunia. Mata dan telinga kita memandang serta mendengar, bahwa "penjajah" itu selalu diartikulasikan adalah negara adidaya yang meng-kooptasi secara fisik negara kecil (lemah). Padahal sesungguhnya di balik itu, penjajah hakiki adalah Sang Penguasa. Siapa dia ? Dialah kelompok kecil - konon adalah keluarga Yahudi yang mengusai Keuangan Dunia, melalui Lembaga KNESSET.
 
Wangsa Rothschild, atau disebut The Rothschilds, mereka adalah sebuah dinasti bankir Yahudi - Jerman di Eropa yang mendirikan berbagai bank dan institusi keuangan Eropa pada akhir abad ke-18. Lima keturunan keluarga cabang Eropa telah diangkat menjadi bangsawan Austria dan diberikan gelar Baron Kekaisaran Habsburg oleh Kaisar Francis II pada tahun 1816. Keturunan lainnya dari keluarga cabang Britania diangkat menjadi bangsawan Britania Raya atas permintaan Ratu Victoria. Selama 1800-an, pada masa puncaknya, keluarga ini diyakini memiliki kekayaan pribadi terbesar di dunia sekaligus kekayaan terbesar dalam sejarah dunia modern. 
 
Lembaga keuangan KNESSET itulah yang hingga saat ini bukan saja mengendalikan Bank Sentral Dunia (World Bank), tetapi memegang kendali Ekonomi dan Politik Dunia, hingga mampu mengontrol lobby Kepresidenan dan Parlemen di setiap negara - yang pasti menerima donor keuangan. Maka siapapun, pribadi, kelompok keluarga atau bahkan entitas bangsa sekalipun yang ingin mengambil peran politik dan ekonomi internasional, dia atau mereka musti "merapat" atau bahkan "menghamba" kepada hegemoni oligarki dunia itu. Manusia dalam Sandera Sang Penguasa
 
Bagaimana dengan Indonesia. Apa yang terjadi ? Seperti halnya yang terjadi di Uighur Xinjiang. Begitupun Tibet yang dulu negara berdaulat, sekarang diokupasi menjadi koloni China. Menengok lebih jauh, Amerika yang dulu milik Suku Bangsa Astex dan Australia milik Suku Bangsa Aborigin. Masih banyak lagi tanah air milik pribumi (bumiputera) yakni warga bangsa awal (asal) suatu teritorial (wilayah) di belahan bumi ini, yang akhirnya dijajah oleh Suku Bangsa Lain dari Luar teritorial tersebut. Bagi Indonesia, cukup sudah pelajaran yang bisa dipetik hikmahnya, dari masa penjajahan Kolonial Belanda dan kemudian pendudukan Jepang, sehingga Indonesia baru merdeka 17 Agustus 1945, 78 tahun lalu.
 
Sayangnya kemerdekaan Indonesia itu tak seutuhnya bagi rakyat Pribumi. Sebab sejak Orde Baru dan apalagi hingga sekarang - idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam) - rakyat serta teritorial lebih banyak dikuasai atau diwarnai oleh Oligarki. Yakni kekuasaan segelintir orang keturunan bangsa asing yang mengelola 70% perederan uang dan mengusai wilayah (teritorial) rakyat. Ini bukan soal rasis deskriminatif, tetapi demikianlah real fakta yang ada.
 
Padahal sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Para Pendiri Negara ini telah menetapkan Perjanjian Luhur Bangsa ; tak boleh lagi ada penjajahan di Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Para Pendiri Negara dalam Pembukaan UUD 1945 yang isinya :
 
"Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".
 
Namun suratan takdir, nyatanya manusia itu - yang sesungguhnya adalah jenis "binatang" berakal budi - selalu saja serakah ingin "menjajah" orang atau bangsa lain. 
 
Itu belum seberapa dan masih lazim, apabila penjajahan dilakukan oleh Suku Bangsa A terhadap Suku Bangsa Z. Namun yang sungguh biadab adalah, ketika suatu entitas "government" menjajah rakyat dan bangsanya sendiri. Sebagaimana Bung Karno, Presiden RI pertama, berwasiat :
 
"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri".
 
OLIGARKI IKUT BERMAIN
 
Tulisan ini mencoba membuka cakrawala pandang kita, bahwa dibalik semua jargon atau platform yang "ciamik" hingga giat bakti sosial yang simpati kepada rakyat - dikerjakan oleh eksekutiv, oleh partai atau kontestan pemilu - semoga saja itu bukan sekadar propaganda maintenance atau services untuk konstituen (rakyat pemilih). Alias semoga bukan sekadar pencintraan politis dalam upaya merebut simpati warga. Padahal itu sejatinya cuma topeng palsu menutupi nawaitu haram, jauh dari nilai Ilahiyah atau Rabbani (Ketuhanan Yang Maha Esa).
 
Sudah jamak lumrah, bukan rahasia lagi kalau para kontestan baik calon (kandidat) legislatif maupun apalagi calon eksekutif, teristimewa CAPRES dan CAWAPRES, hampir pasti ber-mitra dengan oligarki. Sang calon butuh dana logistik untuk operasional maping, consulting, branding dan compaigning hingga pelaksanaan election (pemilu) yakni pemungutan suara (voting). Sebaliknya oligarki yang lazimnya kaum pengusaha, butuh dukungan regulasi dan administrasi birokrasi yang mudah, murah serta meringankan giat bisnisnya - manakala calon  yang di-endoorse-nya memenangkan kontestasi pemilu. Fasilitas "due diligence" akan diterima oleh pengusaha pasca sang kandidat "naik tahta". Simbiose mutualisme atau biasa disebut win - win solution sedang berlangsung.
 
Dalam perkembangan demokrasi liberal, yakni sistem pemilu dengan pemungutan suara (voting) "one man one vote" - siapa dapat banyak suara, dialah pemenangnya - ada potensi yang bisa membuka peluang bagi kandidat "pemimpin" menggunakan segala cara demi meraup suara bagi kemenangannya. Halal dan haram tak lagi jadi pertimbangan, yang penting menang, walau meraih suara dengan cara "siluman".
 
Di mata oligarki, pemilu adalah moment yang sangat menentukan bagi keberlangsungan dan keserakahan bisnis yang mereka bangun. Bagai "pendekar mabuk harta" yang nekat "gambling" menggunakan jurus suap sana sini, sikut luar dalam, dan tendang atau kalau perlu "buldozer". Itulah sebabnya, demi tak menderita kerugian akibat membiayai salah satu kandidat pemimpin atau kontestan, oligarki punya siasat "mainkan politik dua kaki". Apa itu ? 
 
OLIGARKI : POLITIK DUA ATAU 3 KAKI ( ? )
 
Di atas panggung politik Indonesia. Sudah tampil ke pentas kontestasi pilpres 2024, 3 kandidasi presiden (sesuai urut deklarasi dan nomor urut pendaftaran) adalah : 1. Anies Rasyid Baswedan (ABW), 2. Ganjar Pranowo (GP), dan 3. Prabowo Subianto (PS).
 
Hingga saat saya tulis artikel ini, publik melihat, mendengar (viral di medsos) dan akhirnya dapat menyimpulkan, bahwa kandidat yang diusung oleh partai PDIP dan PPP itu bisa diduga sangat didukung penuh oleh oligarki adalah GP. 
 
Memang jelas nampak dalam video yang viral tersebut, sambutan dan perbincangan penuh antusias para pengusaha oligarki terhadap GP menyiratkan dukungan kelompok mereka. Selain itu, Megawati, Ketum Partai Penguasa, secara resmi akhirnya menetapkan GP si "petugas partai" yang dipilih sebagai kandidat presiden.
 
Namun di tengah euforia masyarakat yang sedang mengelukan 3 kandidat presiden : ABW, GP dan PS itu, kita yang harap cemas menunggu pilihan kandidat WAPRES, tiba - tiba dikejutkan dengan "manuver" Gibran Rakabuming Raka (GRR) yang "berhasil" menjadi cawapresnya PS, melalui Keputusan MK. Lepas dari kemelut polemik argumentasi yuridis Keputusan MK, sangat logis (masuk akal) kalau publik menganggap Presiden Jokowie (JKW) sedang melakukan "cawe - cawe". 
 
Tentu sebagai Presiden, JKW boleh saja berdalih "tidak ikut campur". Namun masyarakat melihat dan paham, apalagi Kelompok Guru Besar Hukum Tatanegara, bahwa Anwar Usman, sang Ketua MK itu adalah adik ipar JKW yang berarti paman GRR. Maknanya Keputusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang "meloloskan" GRR menjadi Cawapres itu senyatanya telah melangga hukum - sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman, UU MK dan UU Pemilu No. 7/2017. Dan itu, tak mungkin terjadi kalau GRR bukan anak JKW. Atau sebaliknya, kalau JKW bukan presiden, mana logis GRR bisa diloloskan sebagai Cawapres. Fix.
 
Inilah indikasi. Pemerintahan presiden JKW jelas dipandang oleh masyarakat sebagai pemimpin Indonesia yang sangat disuport oleh RRC. Dan seluruh rakyat Indonesia tahu, para taipan yang menguasai 70% kekayaan Indonesia lah yang paling mungkin menjadi "jembatan sutera" memuluskan hubungan baik bilateral JKW dan Xinjinping.
 
OLIGARKI MAINKAN ...
 
Nah, dulu semua orang tahu, bahwa oligarki mendukung JKW, karena dia adalah kader Partai Penguasa, PDIP. Tapi dengan pernyataan JKW yang "terang - terangan" menyebut "gantian PS" sebagai presiden dan ditambah "terang benderangnya" GRR "difasilitasi" oleh MK maju sebagai Cawapres PS, setidaknya inilah indikasi (jangan - jangan, tapi hampir pasti) oligarki juga mengendors PS. Untuk apa ?
 
Saya menebak. Oligarki sedang memainkan "politik dua kaki", injak sana injak sini, dukung sana dukung sini. Sengaja ditampilkan ke depan kontestasi Pilpres 2024 ini dengan 2 pasangan kandidat Presiden - Wapres : GP bersama cawapres Mahfud MD dan PS bersama GRR - untuk bisa menandingi atau mengalahkan kandidat pasangan ABW bersama Gus Imin.
 
Mudah sekali kita menduga 2 pasangan sekaligus diendors oleh oligarki. Sebab oligarki yang lazimnya kaum pengusaha, butuh dukungan regulasi dan administrasi birokrasi yang mudah, murah serta meringankan giat bisnisnya - manakala calon  yang di-endoorse-nya memenangkan kontestasi pemilu. Fasilitas "due diligence" akan diterima oleh pengusaha pasca sang kandidat "naik tahta". Simbiose mutualisme atau biasa disebut win - win solution.
 
Bagaimana kalau lebih jauh, ternyata oligarki yang kebanyakan pengusaha keturunan tionghoa itu tidak hanya main politik dua kaki, tapi malah 3 kaki ?!  ...
 
Bintaro, 10 November 2023
SILA BASUKI, SH. MBA.