“Tajuk Rasil”
Selasa, 28 Muharram 1445 H/ 15 Agustus 2023
Pejuang Kharismatik, HOS Tjokroaminoto
Momen peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa ini harus mengingat sosok HOS Tjokroaminoto. Ia merupakan orang pertama yang meneriakkan Indonesia merdeka. Sosok dan pengaruhnya begitu ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda. “Dialah raja Jawa yang tanpa mahkota!” demikian orang Belanda menjuluki HOS Tjokroaminoto. lahir di Madiun, Jawa Timur, pada 16 Agustus 1882. Dia keturunan ulama besar, Kiai Bagoes Kesan Besari, yang mengasuh pondok pesantren di Tegal Sari, Ponorogo.
Setelah melalui pendidikan dasar, Oemar Said bersekolah di OSVIA, yakni sekolah calon pegawai Pribumi di Magelang. Saat berusia 20 tahun, dia pun lulus dari OSVIA. Ketika sedang berprofesi sebagai juru tulis di Glodog, Purwodadi, dia menikah dengan RA Soeharsikin, yakni putri keluarga priyayi RM Mangoensoemo, yang saat itu wakil bupati Ponorogo. Namun, daya kritis yang dimilikinya sejak kecil membuatnya tidak bisa berlama-lama menjadi birokrat kolonial. Pada 1905, Tjokroaminoto mundur dari pekerjaannya.
Dia lantas beranjak ke Madiun untuk mengunjungi sejumlah pondok pesantren. Setelah melalui pelbagai pertimbangan, maka diputuskanlah untuk hijrah ke Semarang, lalu ke Surabaya dengan memboyong istri tercinta. Mulailah suatu episode kehidupannya, di mana Tjokroaminoto dapat berinteraksi langsung secara bebas dengan rakyat.
Tjokroaminoto sangat gemar menulis. Dia pun menekuni dunia jurnalistik. Artikel-artikelnya di Suara Surabaya berkaitan antara lain dengan eksploitasi perusahaan-perusahaan Belanda atas kaum Pribumi. Berkat tulisan-tulisannya, namanya menjadi cukup terkenal di kota pesisir tersebut. Dia menjadi apa yang diistilahan sang perintis pers Indonesia, Abdoel Rivai sebagai “bangsawan pikiran.”
Selama di Surabaya, Tjokroaminoto tinggal di Jalan Peneleh VII Nomor 29-31. Rumah itu terletak di kawasan perkampungan padat penduduk. Walaupun resminya dia bekerja sebagai pegawai pabrik, aktivitasnya di pelbagai organisasi dan diskusi-diskusi membuat namanya dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional.
Sejak 1912, misalnya, dia sudah dengan lantang menyerukan perlunya Hindia Belanda dilengkapi dengan pemerintahan otonom yang lepas dari Negeri Belanda. Semangat nasionalisme yang disuarakannya membuat orang-orang terkesima dan akhirnya tertarik untuk mengikuti jejak langkahnya.
Salah satu figur yang pada masa remajanya berproses di sana adalah Sukarno. Ayah sang proklamator itu, Raden Sukemi, bersahabat baik dengan Tjokroaminoto. Sudah sejak awal Raden Sukemi ingin anaknya itu diinapkan di sana selama bersekolah di Surabaya.
Dalam autobiografinya, Bung Karno mengenang rumah Tjokroaminoto tersebut sebagai Dapur Nasionalisme. Sebutan itu cukup beralasan karena pada faktanya kediaman Tjokroaminoto sering ramai dengan para tokoh yang berdiskusi memikirkan nasib orang-orang Pribumi di bawah pemerintahan kolonial.
Selain Sukarno, tokoh-tokoh lain yang berproses di rumah itu adalah Semaun, Alimin, Musodo (Muso), Kartosuwiryo, Abikusno Tjokrosoejoso, dan Sampurno. Mereka sering hadir di sana dan mengikuti jalannya diskusi di rumah Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto pun dipertemukan dengan dengan Haji Samanhudi, seorang juragan batik yang juga menaruh konsen pada nasib umat Islam. Lebih khusus lagi, H Samanhudi sedari awal mengkritik ketidakadilan yang dijalankan pemerintah kolonial atas kaum Pribumi-Muslim; kebijakan yang cenderung menguntungkan kelompok pebisnis Cina dan kulit putih. Perlakuan diskriminatif itulah yang coba diatasi Sarekat Dagang Islam.
Dalam rentang waktu yang relatif singkat, nama SDI sudah terkenal di mana-mana. Banyak pengusaha Pribumi di seluruh Hindia Belanda yang berbondong-bondong mendaftarkan diri. Dengan AD/ART yang baru, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Inilah organisasi massa terbesar pada masanya. Puluhan ribu orang menjadi simpatisan. Pengaruh SI sampai pula di Surabaya. Kepemimpinan Samanhudi mulai digantikan oleh HOS Tjokroaminoto. Pada saat itu, profilnya sudah sedemikian terkenal dan kharismatik di tengah publik. Sifatnya egaliter, sehingga menganggap Belanda tidak ubahnya dengan rakyat Jawa. Daya kritisnya yang tajam membuka relung kesadaran para tokoh Pribumi untuk bangkit dengan pendidikan dan berorganisasi.
Dia mengecam keras praktik-praktik yang cenderung menghinakan kaumnya. Sorot matanya tajam—bak Gatot Kaca dari kisah perwayangan. Tidak pernah sekalipun membungkuk-bungkuk di hadapan pejabat pemerintah kolonial. Baik melalui orasi dan gaya bahasa tubuhnya, Tjokroaminoto mencontohkan kepada sekalian orang Pribumi-Muslim tentang pentingnya menanggalkan inferioritas, rasa rendah diri, di hadapan penguasa yang zalim.
Wallahu a’lam bishshawab
(gwa-kb-pii-jatim)).